Selasa, 11 Juli 2006

rumah tua di ujung jalan

 

rumah tua di ujung jalan


 


di mana rumahmu?


di sana.


di sana mana?


di sana, di ujung jalan.


yang mana?


di sana. di rumah tua di ujung jalan.


itu rumahmu?


bukan. tapi aku tinggal di sana.


 


rumah tua di ujung jalan.


 


bahkan lebih tua dari umurku. berdiri kokoh sejak jaman Belanda. memiliki semua arsitektur khas Belanda tempo dulu. dengan segala keabsurdan dan segala misteri di dalamnya. meskipun renovasi sudah dilakukan sana-sini, tetap saja kelihatan betapa tua-nya ia. ia tampak modern dengan desain minimalis tropisnya. tapi tetap saja di dalamnya ia sangatlah tua. aku tahu betapa kokohnya ia. aku bisa lihat betapa tebalnya beton yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan yang lain. dan betapa para kuli repot memindahkan pintu jati yang bahkan lebih tebal dari 5 pintu dijadikan satu itu agar tidak mengganggu mobilitas orang-orang di sana. sebenarnya yang mengganggu bukanlah pintu jati itu, ataupun tembok beton yang tebal, tapi sesuatu di dalam rumah itu.


 


rumah tua di ujung jalan. bukan rumahku tapi aku tinggal di sana. aku tinggal di sana bukan karena itu rumahku. aku tinggal di sana bukan juga karena aku suka. aku tinggal di sana karena hanya di sana aku lama tinggal. hampir setiap hari aku di sana. sepanjang hari aku ada di sana. maka bolehlah aku bilang kalau aku tinggal di sana.


 


ia memang kokoh. tapi itu sebelum ia mengenal kami.


ia memang kokoh. tapi itu sebelum kami tinggali.


 


kami pindah ke sana sejak pertengahan tahun lalu. kami sudah banyak mendengar cerita tentang rumah tua ini. kami tetap tidak peduli. atau boleh aku bilang, mereka yang tidak peduli. tapi aku peduli.


 


karena mereka tidak pernah peduli apa yang kami lalui. mereka tidak pernah melihat apalagi merasakan apa yang kami lalui. karena mereka tidak menghadapi apa yang kami hadapi.


 


di rumah tua ini pun begitu. seakan ia mendengar keluh kesah kami, ia pun menangis setiap kali hujan turun dan mengamuk setiap kali petir menyambar. mematikan seluruh sistem.


 


tidak peduli seberapa tebal dinding yang ia punya. rumah tua ini seakan tak ingin menyimpan rahasia sendiri. dinding yang tebal itu pun terasa tipis sekali. kini aku bisa tahu semua. aku tahu rumah tua ini tidak begitu kokoh. aku tahu sistem di dalamnya sama bobroknya dengan moral Pancasila ala Indonesia. aku tahu apa yang seharusnya aku tahu. aku tahu apa yang seharusnya aku tidak tahu. aku tahu terlalu banyak.


 


bukan. ini bukan salahmu, rumah tuaku.


tidak. aku tidak membencimu.


aku benci keadaan yang ada di dalammu.


aku benci semua kebusukan yang kau perlihatkan kepadaku.


bukan kebusukanmu. aku tahu.


aku hanya berharap aku tidak terlalu banyak tahu.


tapi kau membuatku banyak tahu.


aku ingin berterima kasih padamu. tapi semakin aku ingin berterima kasih padamu, semakin ingin aku meninggalkanmu.


tentu bukan karena kamu.


tapi karena apa yang terjadi di dalammu.


 


rumah tua di ujung jalan. sudah cukup aku meninggalinya, kini aku ingin meninggalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar